10 January 2010

Cerpen.. Cinta, jangan tinggalkan aku...

“Ray, kenapa sih loe akhir-akhir ini sering menyendiri disini?” Tanya Ubay, sahabatku yang hitam manis dan lucu.

Dia merangkulku dan ikut duduk di bawah pohon pinggir danau daerah Bogor. Aku tetap terdiam tak bicara satu kata pun. Kedua sahabatku Dzhony dan Toy datang dan ikut menghiburku. Sebenarnya aku seperti ini karena aku teringat akan sebuah kenangan indah yang dulu aku alami bersama Winda, cewek yang dulu sangat aku cintai. Dia pergi setelah ada konflik di dalam keluarganya. Winda pergi bersama Ibunya ke Kalimantan Selatan. namun naas, sebulan sebelum pergi, dia sudah pergi terlebih dahulu dan takkan kembali lagi.

“Ray, ngomong dong ada apa?” Tanya Dzhony dengan nada yang sangat mengkhawatirkan aku.

“Loe udah gak anggep kita sebagai sahabat?” Tanya Toy dengan nada yang keras.

Aku tahu di dalam kepala mereka sedang ada tanda tanya yang begitu besar. Ada apa sebenarnya dengan sahabatku Ray? Kira-kira seperti itulah pertanyaannya. Aku berdiri dan mengambil sebuah batu dan melemparnya ke danau yang tenang itu sehingga terciptalah sebuah pusaran air yang menyebar hingga ke tengah.

“AAAAAAAAAAArrrrrrgggghhhhhh.” Aku berteriak keras sekali untuk menghilangkan segala kerisauan hatiku ini.
Ketiga sahabatku mendekati aku dan memelukku dari belakang. “Kami sebenarnya tak mau ikut campur dalam masalahmu, tapi kami mohon beritahu kami apa masalahmu.” Seru Ubay sambil menahan gejolak amarah yang hampir mencapai puncaknya itu.

“Lepaskan pelukan kalian, baru nanti aku ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku.” Akhinya egoku ini dapat aku atasi karena aku tidak mau melihat orang di sekitarku ini ikut sedih karena aku.
Kami berempat duduk tepat di bawah pohon yang sangat besar dan satu-satunya pohon besar yang ada di pinggiran danau ini. Aku memulai bercerita kepada mereka kejadian beberapa tahun yang lalu dari awal hingga akhir tentang proses perpisahan aku dengan Winda seseorang yang sangat aku cintai.

****

“DIAM KAMU…” teriak Pak Edwin “PLAK…” terdengar suara tamparan keras dari dalam kamar Mamanya Winda.
Winda menangis sedih di dalam pelukkanku yang saat itu aku sedang bertamu ke rumahnya. Aku belai rambut panjangnya yang terurai indah, aku usap kedua matanya yang sedang mengalirkan airmata seperti dua buah sungai kecil di kedua pipinya. Dadaku terasa semakin dibasahi oleh airmata Winda.

“Dhe, sudahlah jangan kamu bersedih terus, semua ini adalah cobaan dari yang kuasa, kamu harus tetap tegar dan tabah menjalaninya.” Aku berusaha menghiburnya.
Winda bangkit dan berlari keluar dari rumahnya, segera aku mengejarnya sebelum jauh.

“Kak, bawa adhe pergi jauh kak, adhe mau tenangin diri dulu kak.” Ajaknya dengan suara yang masih berat karena berusaha mengatur derasnya airmata yang sedang mengalir di pipinya itu.
Aku mengambil motorku yang aku parkir di sebelah rumahnya itu. Aku mengajak Winda ke sebuah taman yang di penuhi dengan beberapa bunga hiasan dan juga pohon-pohon yang rindang, udaranya juga sejuk sekali. Aku parkirkan motorku di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Winda langsung duduk di belakang pohon tempat aku parkir motor. Aku mengeluarkan sebuah air mineral yang aku simpan bi bagasi motorku. Dia meminumnya dengan rakus. Aku pandangi wajahnya yang masih menahan kesedihan itu. Tampak dua buah gundukkan di bawah kedua matanya.

“Kamu tenang ajah dhe, dengan iringan waktu yang berjalan terus, lama-lama semua masalah keluarga kamu akan selesai.” Aku masih berusaha menenangkan hatinya.

“Ya kak, walaupun hari ini cerah tapi hatiku terasa hujan deras.” Serunya sambil berjalan ke arah sebuah bangku yang berada di taman itu.

“Aku akan berusaha semampuku untuk meredakan hujan itu.” Timpalku
Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Lama-lama dia tertidur di bahuku. Aku membelai-belai rambut panjangnya itu. Aku akan mencoba untuk selalu ada di sampingmu, walau tidak setiap detik, Winda aku sangat menyayangi dirimu, aku akan selalu mencoba tetap sayang padamu. Aku mngucapkan kalimat itu di dalam hati sambil tetap membelai rambutnya.

Tidak lama kemudian dia terbangun, dan langsung merapikan rambutnya yang berantakan itu. Aku menatap wajahnya yang masih sembab karena seharian menangis terus. Dia berdiri dan berjalan ke arah bunga-bunga yang sedang asyik menari-nari karena hembusan angin sore yang cukup kencang, dia merentangkan kedua tangannya dan menjatuhkan tubuhnya ke atas bunga-bunga itu.

“Kak, andaikan angin ini bisa mengirimkan pesan kepada kedua orang tuaku bahwa adhe sangat mencintai mereka, dan menginginkan sebuah kedamaian di dalam keluargaku.” Dia mengeluarkan semua kegundahan yang ada di hatinya.

“Aku akan selalu berusaha untuk tetap mendampingi kamu saat suka maupun duka, walaupun gak setiap detik ada di samping kamu, tapi aku akan selalu ada di hati kamu.” Ray coba menenangkan hati Winda yang mungkin sedang menghadapi masa-masa yang sangat sulit saat ini.

Winda bangkit dan memelukku dengan erat seakan tak mau pisah dariku. Aku membalas pelukannya dan membelai rambutnya. “Aku sayang sekali sama kakak.” Bisiknya. Aku membalasnya dengan mencium keningnya. “Kakak juga sayang kamu.”
Aku antar dia pulang kerumah, karena hari sudah mulai senja. Sepanjang jalan Winda memelukku dengan erat sekali. Cinta itu penuh liku-liku, hanya seseorang yang telah mengerti apa artinya cinta sajalah yang bisa merasakan cinta yang sesungguhnya. Gumamku di dalam hati.

“Hati-hati ya kak.” Seru Winda setelah sampai di depan rumahnya.

“Ya dhe.” Jawabku sambil tersenyum ke arahnya.
Aku lihat dari kaca spionku, dia masih melihat ke arahku sambil melambaikan tangannya. Dia menatapku sampai aku menghilang di tikungan. Di sebuah masjid, aku berhenti sejenak untuk melaksanakan Shalat Magrib sejenak. Dan sesampainya dirumah, Aku berbaring di kasur manatap langit-langit kamarku. Tak terasa kedua mataku ini mengalirkan dua buah sungai kecil yang bersumber dari dalam mataku. Aku sedih kalau ingat hari dimana Winda mencoba menutupi kesedihannya.

****

Beberapa hari kemudian di sekolah…

Aku memandangnya dari kejauhan agar aku bisa tetap menjaganya dan memperhatikan setiap gerak-gerik yang di perbuatnya. Dia sedang asyik tertawa, bercanda, dan lari-larian seperti anak kecil bersama temannya Andine. Andine itu orangnya Super,Super gemuk dan super segalanya. Dia adalah sahabat Winda yang sangat setia. Mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang ganjil dari cara Winda tertawa, tapi apa yah? Aku tidak tahu… Dia tertawa seakan dia yang paling riang, Namun menurut pandanganku tidak, ada yang aneh dari mimik wajahnya. Aku tunggu dia saat pulang sekolah di depan pos satpam. Sambil menunggunya, aku berbincang-bincang sama Pak Anda satpam sekolah SMA Terpadu.

“Ray, Cewek loe mana?” Tanya Pak Anda membuka topik pembicaraan.

“Neh lagi nunggu dia keluar Pak, Lama banget yah.” Jawabku sambil duduk di bangku.

“Ya udah sabar ajah mungkin lagi dandan kale, kan mau ketemu pangerannya.” Ledek Pak Anda.

“Ahh Bapak bisa aja.”

“Tuh Winda, Panjang umur dia.” Seru Pak Anda sambil menunjuk ke arah Winda yang sedang membenarkan kuncirannya.

“Ya udah Pak, saya pulang dulu yah, Assalamu’alaikum.” Seruku sambil mengucapkan salam dan berlalu meninggalkan pos satpam

Winda melihat kedatanganku dan menyambutnya dengan senyuman indah yang terukir di pipinya. Aku segera menuju ke halte bus di depan sekolah menunggu bus yang akan mengantarkan kami pulang.

“Kak, mau tanya boleh gak.” Tanya Winda kepadaku dengan tatapan yang sangat serius.

“Mau tanya apaan?”

“Kalau misalkan hari ini terakhir kita bertemu apa yang akan kakak ucapkan padaku?” Tak ku duga dia melontarkan pertanyaan yang sangat sulit untuk ku jawab. Aku terdiam sebentar dan aku genggam erat tangannya.

“Aku akan selalu menunggu adhe disini, aku tunggu sampai adhe hilangkan semua kegelapan yang ada di hatiku ini, dan genggaman ini takkan ku lepaskan walaupun hari ini kiamat sekalipun aku akan tetap menggenggam tangan adhe. Karena aku sangat menyayangi adhe.” Jawabku dengan panjang lebar.

“A..aku juga sayang sama Kakak.” Winda kembali menangis.

“Aku juga tahu dhe, aku akan selalu memelukmu seperti saat ini apabila adhe masih tetap menangis.” Seruku sambil membenamkan Winda di dalam hangatnya pelukkanku.
Winda bangkit, dan mengusap air matanya dengan sapu tangan merah yang menjadi barang kesayangannya. Aku ambil sapu tangan itu dan aku bantu dia mengusap air matanya itu.

Tidak lama kemudian bus yang kami tunggu akhirnya datang, kami mengambil tempat duduk di dekat supir karena kebetulan bus yang kami tumpangi ini masih kosong dan hanya ada beberapa bangku yang terisi. Winda menyandarkan kepalanya di bahuku sambil melihat padatnya jalanan yang kami lewati. Saat jalanan kosong, supir melajukan busnya dengan sangat cepat sekali, seluruh penumpang di dalam bus ini jantungnya sedang beradu cepat berdetak. Supir bus ini tidak memperdulikan keselamatan penumpang, ada seorang penumpang yang melemparkan sepatunya ke supir bus tapi tetap saja dia masih beradu cepat. Bus tiba-tiba oleng dan menabrak sebuah rumah di pinggir jalan. Aku mendengar banyak teriakkan disini, tapi mataku tak dapat melihat apa yang terjadi. Winda…aku teringat Winda, dimana dia, selamatkah dia, aku bingung, badanku serasa melayang dan tiba-tiba aku mendarat di sebuah media yang sangat empuk. Sirine ambulance sangat terdengar di telinga ini.

“Lho aku dimana?” Tanyaku setelah sadar dari pingsan tadi. “Dimana Winda, Winda…” Aku panik dan berusaha bangkit dari tempat tidurku tapi terasa sangat berat.

“Winda ada di ICU, dia terluka parah dia hampir kehabisan darah.” Seru sang suster yang sedang memeriksaku.

“Sus, Bawa aku bertemu dia.” Teriakku panik

“Kamu sabar saja dia pasti selamat.” Suster itu berusaha menenangkanku.

“Aku takut terjadi sesuatu sama dia Sus.” Aku semakin nekat, aku ambil tabung
infusanku dan segera berlari menuju ruang ICU walau aku tidak tahu dimana, tapi aku tetap berusaha mencarinya. Aku jatuh bangun untuk menuju kesana, tiba-tiba badanku serasa melayang kembali. Ternyata aku pingsan lagi. Aku menyerah dan berusaha untuk tetap istirahat di dalam ruanganku.

****

Setelah berhari-hari berada di rumah sakit. Winda belum juga sadar semenjak kecelakaan beberapa waktu lalu. Aku menatapnya dari pinggiran tempat dia berbaring dengan hidungnya di tutupi dengan alat bantu pernapasan. Tidak lama kemudian, Ibunya masuk ke dalam kamar itu.

“Nak Ray makasih yah sudah bantu Ibu menjaga Winda.” Serunya sambil duduk di samping putrinya yang sedang terbaring lemah.

“Sama-sama Bu, ini karena Winda juga yang bisa membuatku jatuh cinta dan menyayangi dia dengan tulus.” Jelasku.

“Ibu minta maaf yah, karena selama ini…”

“Sudahlah Bu, lupakan saja yang penting sekarang kita berdo’a kepada Illahi agar Winda dapat sadar kembali.”

“Sekali lagi makasih banget yah Nak Ray.” Ibunya kali ini mengusap air matanya yang sudah mulai membanjiri pipinya.

Namun aku merasa ada yang ganjil saat Ibunya datang, kali ini dia tidak bersama suaminya. Rasanya aku ingin bertanya tapi apa hak aku untuk bertanya seperti itu. Aku memutar kursi roda yang aku duduki untuk keluar dan membiarkan mereka berdua saja agar hubungan antara Ibu dan anak semakin klop.

Baru beberapa putaran roda kursi ini, aku melihat Ayahnya Winda terlihat panik sekali dengan langkah yang begitu cepat dia melewatiku dan masuk ke dalam ruangan dimana Winda di rawat. Aku tersenyum bahagia karena baru pertama kalinya aku melihat mereka bertiga berada di dalam satu ruangan. Aku juga sempat mencegah suster untuk masuk ke dalam ruangan itu.

“Sus, biarkan mereka berkumpul sejenak, aku sudah lama merindukan pemandangan seperti ini.” Seruku sambil memandang ke dalam ruangan itu lewat celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat itu.
Suster itu mengerti apa yang aku bicarakan, dia langsung pergi menuju ke ruangannya kembali. Aku melihat, Ayah dan Ibunya menangis sedih melihat kondisi Winda yang masih terbaring lemah. Aku memutar kursi rodaku untuk pergi dari kamar itu. Aku menuju kesebuah taman yang tidak jauh dari kamar Winda di rawat.

Aku memandangi bunga mawar yang sangat indah dan mekar secara sempurna di bawah teriknya matahari membuat bunga itu semakin indah memancarkan pesona kecantikkannya. Aku mendekati bunga itu dan menghirupnya, betapa wanginya bunga itu. Tiba-tiba telingaku mendengar suara yang sangat gaduh dari lorong Rumah Sakit itu, para Dokter dan Suster berlarian. Ada apa ini, apa ada pasien yang sekarat? Tanyaku dalam hati.

Aku memutar kursi rodaku untuk melihat apa yang terjadi, aku terkejut saat melihat semuanya masuk ke ruangan Winda. Aku berusaha untuk masuk ke dalam namun orangtuanya melarang aku masuk. Kedua orang tuanya Winda menangis sedih sekali.

“Tante, apa yang terjadi sama Winda?” Tanyaku penasaran.

“Denyut nadi Winda melemah Nak Ray.” Jawab Mamanya Winda dengan nada yang berat.

“INI SEMUA KARENA KAMU…” Teriak Papanya Winda kepadaku. “KAMU TELAH MEMBUAT ANAK SAYA CELAKA.” Tambahnya.

“Paa…” Seru Isterinya sambil menangis “Malu Pa, di tempat umum ini.”

“DIAM KAMU… ANAK SIALAN INI UDAH BUAT ANAK KITA SEKARAT.” Teriakannya semakin
menjadi-jadi.

“Haha” Aku tertawa pelan. “Apa Bapak pernah tahu apa isi hati anak Bapak? Apa Bapak tahu sikap anak Bapak bagaimana setelah ada masalah ini? Apa Bapak juga tahu harapan terbesar anak Bapak?” Aku melontarkan pertanyaan secara bertubi-tubi.

“PLAK…” Aku di tamparnya dan darah segar mengalir di sela-sela bibirku.

“TAHU APA KAMU TENTANG ANAK SAYA?”

“Isi hati anak Bapak yaitu ingin sekali merasakan kebahagiaan, keharmonisan, kasih sayang, dan yang terpenting dia ingin sekali berbagi cerita di dalam keluarganya, sama Bapak dan Ibu. Anak Bapak sikapnya selalu ceria walaupun di dalam hatinya dia sangat sedih sekali dia gak mau ada satu orangpun yang tahu isi hatinya kecuali saya. Harapan dia adalah agar bisa mendamaikan Bapak dan Ibu agar dia bisa bercanda dan tertawa bersama Anda berdua. Tolonglah luangkan waktu buat dia walaupun hanya 1 detik saja itu akan di kenangnya seumur hidup.” Jelasku panjang lebar sambil menahan sakit akibat tamparan tadi.

“HE, NGARANG KAMU YA?”

“Tidak, anak Bapak yang berkata itu.”

Aku segera pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang berdiri di depan ruangan tempat anaknya di rawat. Tidak lama setelah aku pergi. Winda telah tiada, Winda sudah di panggil sang pencipta. Aku menangis sedih air mataku mengalir deras sekali. Aku tak kuat menahannya. Dadaku terasa sangat sesak mendengar perkataan dokter kala itu.

“Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin namun kami tidak dapat melawan kehendak-Nya.” Seru sang dokter.

****

Keesokan harinya di pemakaman…
Aku bersama Ayahku hadir di pemakaman, aku masih menaiki kursi rodaku karena masih dalam proses penyembuhan pasca kecelakaan tragis beberapa waktu lalu. Aku melihat orangtuanya Winda hadir bersama dan saling bergandengan tangan. Mungkin inikah yang diinginkan oleh Winda, suatu kehangatan sebuah cinta antara Ibu dan Ayah. Aku menatapnya sungguh sangat indah pemandangan yang langka itu. Andaikan Winda masih disini dia pasti sudah menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini.

Begitulah cerita mengapa aku saat ini sering sekali terlihat sangat murung, kurang bertenaga, dan kurang bergairah. Karena pada hari ini adalah tepat lima tahun dia telah tiada. Dan tepat pada hari ini pula orang tuanya kembali berdamai, walaupun terlambat setidaknya mereka telah mengabulkan harapan anaknya itu.

“Akhirnya, mereka berdamai juga yah Ray.” Seru Dzhony sambil mengusap air matanya yang mulai menetes di pipinya.

“Cengeng loe, gue jah gak nangis sekarang.” Ejek Ray.

“Sekarang…Dulu loe nangis kejer…” Seru Ubay sambil menoyor kepala Ray dan langsung
berlari.

Ray berdiri dan mengejar Ubay yang sudah berlari kesana kemari. Sementara Toy dan
Dzhony tetap duduk di bawah pohon tempat Ray bercerita tadi.

“Awas loe yah kalo gue berhasil nangkep loe, gue putihin kulit loe.” Seru Ray sambil berlari.

“Coba ajah kalo loe bisa.” Ledek Ubay.

0 komentar:

 
;