23 February 2010

Please Dong Ahh....!!!!

PLEASE DONG AHH…!!!
By : www.robert-badoenk.blogspot.com

“Hahahahaha.”
Terdengar begitu keras suara tawa mereka di telingaku, mereka menertawakan diriku ini yang menurut mereka aku ini aneh, norak, kampungan, dan semua hinaan yang mereka sebut itu masuk satu persatu ke dalam memoriku. Entah apa salahku ini sehingga mereka begitu. Mungkin saja mereka iri dengan diriku yang selalu mendapatkan perhatian dari semua orang yang dekat denganku. Di dalam kelas, aku merasa sepi padahal di dalam kelas itu ramai sekali seperti pasar yang tiba-tiba mengadakan diskon secara besar-besaran dan para konsumen bergerombol datang menyerbu barang dagangan yang belum mereka ketahui sebenarnya barang apa yang sedang diskon itu. Tapi hati ini serasa sesak dan gundah apabila aku bicara tak ada yang mendengarkannya. Ingin rasanya aku teriak di depan muka mereka yang tak bisa mengerti diriku yang ingin merasakan artinya teman. Ma, Pa, andaikan saja engkau masih ada di sisiku, mungkin aku tidak akan seperti ini, aku akan selalu ceria dan juga riang apabila ada kasih sayang kalian. Ma, Pa, aku bercita-cita sebagai atlet, aku akan mewujudkan semua itu. Walaupun aku tahu, itu sangat sulit untuk tercapai dengan keadaanku yang seperti ini.

“HAYYOO…!?!?” Yudha mengagetkan Irra yang sedang asyik menulis sebuah kata-kata di dalam buku Diary-nya di sebuah taman. “Lagi nulis apa sih? Boleh liat gak?” tanyanya sambil duduk di sebelah Irra.

“Eh…ng..nggak kok bukan apa-apa.” Jawab Irra dengan suara terbata-bata sambil menaruh buku Diary-nya dipangkuannya.

Yudha memang satu-satunya sahabat yang bisa mengerti keadaan Irra tidak seperti teman-teman yang lainnya yang selalu meledeknya. Yudha itu baik dan perhatian sekali Irra, kapanpun Irra sedih dan senang pasti Yudha selalu ada di sampingnya.
“Kok wajahnya cemberut sih? Hayo mikirin apa?” Tanya Yudha dengan nada yang meledek sambil mencubit pipi sahabatnya itu.
“Ihh,, kamu sok tahu nih. Siapa juga yang cemberut, wee..” Jawab Irra sambil membalas ledekan Yudha.
“Ya, kan aku Cuma tanya saja, mungkin kamu mau cerita sesuatu sama aku gitu.” Seru Yudha sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya dan melirik Irra.
“Suer.. gak ada apa-apa Yudha jeleeek.” Serunya sambil mengacungkan kedua tangannya membentuk huruf V dan mencubit pipi Yudha dengan keras sehingga Yudha merintih kesakitan.


Mereka terlihat makin asyik bercandanya sehingga perut mereka sakit karena tertawa yang berlebihan sehingga hampir overdosis karena tertawa. Memang kedua sahabat ini sangat klop sekali. Mereka sudah saling kenal sejak masa Balita dulu. Awal pertemanan mereka yaitu sejak saat perlombaan 17 Agustusan puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Yudha dan Irra satu kelompok dalam lomba makan pisang sekulit-kulitnya. Tiba-tiba Irra keselek pisang itu, semua orang panik. Yudha menatap Irra dengan tatapan yang kasihan dan seperti diperlambat kayak di film-film, Yudha berlari kearah Irra dan semua orang yang ada di depannya ia tabrak. Setelah sampai di dekat Irra, ia melihat ada sebuah balok kayu, dia ambil balok itu dan memukulkannya tepat di belakang tubuh Irra. Pisang yang masih utuh itupun akhirnya keluar sambil diiringi oleh tepuk tangan semua orang yang melihat itu.

Dari situ asal-muasal mereka bersahabat. Hingga saat ini mereka pasti tidak akan melupakan moment penting itu. Mungkin kalau saja Yudha tidak membantunya, Irra pasti sudah tidak bisa menghirup udara yang segar ini.

“Yud, pulang yuk, udah sore nih.” Seru Irra sambil menepuk bahu Yudha.
Yudha juga ingin pulang, ia bangkit lalu menuju ke belakang tubuhnya Irra. Di doronglah kursi roda yang setia menjadi media untuk Irra duduk.

Kursi roda itu pertama kali Irra gunakan saat ia mengalami sebuah kecelakaan yang merenggut kedua orang tuanya saat ia masih SMP dulu dan hingga kini ia belum bisa berjalan. Dan Yudha juga orang pertama yang menghibur dia saat Irra menangis di sebelah mayat kedua orangtuanya yang sedang tertidur pulas yang takkan bangun lagi walau di stel musik rock di dekat kupingnya itu.

“Terima kasih ya Yud, hari ini aku senang sekali aku jadi gak sedih kalau ada kamu.” Seru Irra dengan mata yang berkaca-kaca di depan gerbang rumahnya.
“Iya sahabatku, aku akan selalu ada di dekat kamu saat kamu senang dan juga saat kamu bersedih, aku janji sama kamu.” Seru Yudha sambil berlutut di depan Irra dan menggenggam tangannya.

“Kamu satu-satunya orang yang bisa mengerti diriku Yud.” Serunya sambil mengalirkan dua buah sungai kecil di pipinya yang bersumber dari kedua matanya.
“Hayoo… mana Irra yang kuat, tegar, dan juga selalu ceria itu, jangan nangis dong, oke.” Seru Yudha sambil menghapus airmata Irra yang semakin mengalir deras itu.

Setelah itu, Irra di jemput oleh adik semata wayangnya. Kerena Cuma dia yang masih tersisa di dalam struktur keluarganya. Walaupun saudaranya banyak sekali namun Irra merindukan indahnya suatu keluarga yang utuh. Ia ingin merasakan hangatnya pelukan seorang Ibu dan juga indahnya saat bercanda dengan seorang Ayah. Namun itu ia simpan dalam hati saja dan semua kenangan itu telah terbingkai indah di batinnya.

****

“WOY CACAT… GUE NYONTEK PE-ER SEJARAH LOE DONG.” Teriak salah satu teman sekelas Irra yang duduk paling belakang di dekat jendela yang jendelanya sudah rapuh itu.
Irra tetap diam saja tanpa merespon teriakan itu. Irra mengambil napas dalam-dalam agar dia bisa bersabar. Karena ia memegang prinsip “Orang sabar pasti di sayang Tuhan”. Namun temannya itu tetap saja memanggilnya dengan sebutan “Cacat”.

Mendengar kata-kata itu dari luar ruangan, Yudha segera berlari menuju orang yang memanggil Irra dengan sebutan “Cacat” itu. Yudha memukul orang itu tepat di hidungnya sehingga hidungnya langsung mengeluarkan darah segar berwarna agak gelap itu.

“WOY…ANJ*NG NGAPAIN KAU IKUT CAMPUR URUSAN AKU.” Teriak orang yang berbadan agak kecil sedikit daripada Yudha itu sambil mengelap darah yang mengalir di hidungnya.
“KENAPA LOE GAK BISA HORMATIN SAHABAT GUE, KALO PUNYA MULUT DI JAGA DONG. DANCOK*(BAJINGAN) …!!?” Semprot Yudha di depan muka orang itu.
“ANJ*NG LOE…!!?” Orang itu masih gak mau kalah.
“JANGAN MENTANG-MENTANG LOE UDAH 3 TAHUN GAK NAEK KELAS LOE SEENAKNYA AJAH MANGGIL ORANG, GAK LIAT LOE KEADAANNYA, KALAU AJA LOE DI POSISI DIA, PERASAAN LOE GIMANA? HAH..!!?” Yudha mengeluarkan semua perasaan yang ada di dalam hatinya.

Keributan di dalam kelas XI 5 itu mengundang perhatian orang-orang yang melewati depan kelas itu. Sebagian dari siswa yang melewati depan kelas itu sudah masuk ke dalamnya untuk melihat siapa pemeran utama dalam keributan itu. Dan ada seorang guru yang juga ikut-ikutan penasaran untuk melihat apa yang terjadi di dalam kelas itu.

“Oh… kamu lagi… kamu lagi yang buat keributan. ckckck” Seru Guru yang bernama Bapak Pendi yang berstatus Guru Komputer di sekolah itu.
“Yud, sudahlah, jangan ladenin sikap Togar yang memang sudah permanent sekaligus melekat di dalam batinnya dia dan sulit untuk di ubah itu.” Seru Irra sambil mendekat kearah Yudha berdiri.

Yudha akhirnya luluh untuk meninggalkan anak yang kurang ajar yang bernama Togar yang berasal dari Medan itu. Memang Togar itu anak kesayangan para guru-guru di sekolahnya. Sehingga dia tetap diizinkan untuk tetap berada di sekolah itu. Tiap kali ujian kenaikkan kelas, pasti Togar mengerjakannya sambil tertidur. Saat di tanya oleh guru yang mengawas di dalam ruangan ujian pasti ia jawab. “Ini lagi saya kerjain Bu di dalam mimpi saya sambil menyontek ke buku pelajaran yang sedang di ujikan, makanya jangan ganggu saya tidur, nanti saya gak bisa ngerjain.” . Setelah bangun, ia mengumpulkan kertas ujiannya dengan yakin betul semuanya, padahal kertas itu kosong tanpa ada coretan jawabannya sama sekali. Lho, kenapa ngomongin Togar? Lanjut ke cerita Irra dan Yudha aja yuk.

Di lorong depan kelasnya Irra…

“Kamu kenapa sih, mukul Togar dan membuat ribut di dalam kelas?” Tanya Irra sambil memegang botol air mineral yang sempat di belikan oleh Yudha di kantin tadi.
“Abis dia-nya aja yang naif sama kamu.” Seru Yudha sambil meminum minumannya dengan rakus.
“Tapi Yud, gak seharusnya kamu berbuat seperti itu.” Irra berusaha membuat hati Yudha menjadi teduh kembali.
“Iya, maafin aku deh kalo gitu.” Seru Yudha pelan sambil menunjukkan wajah yang sangat menyesal.
“Jangan sama aku minta maafnya, tapi sama Togar yang udah kamu pukul sehingga dia berdarah itu.”
“Iya sahabatku, nanti aku langsung minta maaf sama dia.”
“Janji?”
Yudha hanya mengangguk saja. Setelah itu, Yudha mengantarkan Irra kembali kedalam kelasnya. Ia juga tidak lupa menuju kearah Togar yang masih sibuk menghentikan darah yang mengalir dari dalam hidungnya itu. Terlihat di bawah bangku yang ia duduki terdapat banyak sekali tisu yang telah berubah warna dari warna dasarnya putih menjadi bercorak merah yang jarang-jarang coraknya.
“Gar, maafin gue ya.” Seru Yudha sambil mengulurkan tangannya.
“Tidak perlu kau minta maaf sama aku, aku yang salah sama kau. HAI IRRA MAAFKANLAH AKU. AKU TAK AKAN MENGULANGINYA LAGI.” Seru Togar yang sekalian meminta maaf kepada Irra. “Ya sudah, Pergilah kau dari pandangan aku.” Togar mengusir Yudha yang masih berdiri di depannya.
“Ra, Aku ke kelas aku dulu ya, jangan keluar kelas dulu sebelum aku datang ke kelas kamu pas jam pulang tiba. Oke.” Serunya sambil mengelus rambut sahabatnya itu.
Waktupun terus berputar, jam pulang sekolah pun akhirnya tiba. Yudha langsung menuju ke kelas Irra yang hanya berjarak 2 ruangan dari kelasnya itu. Yudha langsung mendorong kursi roda yang Irra duduki keluar dari kelas yang telah di tinggalkan sama sebagian penghuninya itu.
“Ra, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat deh, mau gak?” Tanya Yudha sambil mendorong kursi roda itu dengan sangat hati-hati sekali.
“Mau kemana memangnya? Tumben kamu ngajak aku pergi.” Seru Irra.
“Nanti kamu juga akan tahu, tapi kamu mau gak?” Tanyanya lagi untuk menyakinkan Irra.

Irra hanya menganggukkan kepalanya saja. Segeralah Yudha mengambil mobilnya yang berada di parkiran itu dan mendekati Irra yang sengaja di suruh tunggu oleh Yudha itu. Dia menggendong Irra dan di dudukannya di kursi depan sambil memakaikan Safety Belt demi keselamatannya dia. Yudha juga melipat kursi roda Irra dan memasukkannya ke dalam mobil Honda Jazz yang sudah menjadi milik pribadinya itu.
Yudha mengendarai mobilnya perlahan tapi pasti. Terlihat sebuah senyuman indah terukir di bibirnya Irra. Yudha hanya memandang senyum itu sambil menunggu lampu merah berubah menjadi hijau.

“Kenapa senyum-senyum gitu?” Tanya Yudha sambil menajalankan mobilnya itu.
“Hmm, senang aja, masa tadi nih, pas pelajaran sejarah di kelas aku, Si Togar bisa menjawab pertanyaan yang di ajuin sama Pak Samsul Guru sejarah yang konyol itu lho, aneh banget.” Jelas Irra sambil tertawa.
“Emang pertanyaannya gimana?” Tanya Yudha sambil tersenyum simpul.
“Gini, kapan perang diponegoro terjadi?, Eh dengan santainya Togar menjawab, Abis maghrib Pak, ya semua kelas langsung tertawa denger jawaban Togar itu.” Jawab Irra.
“Tapi benarkan jawabannya memang itu?”
“Iya sih memang benar, kan terjadinya dari tahun 1825-1830 bertepatan juga sama waktu Maghrib pukul 18:20 kan jadinya lima menit abis Maghrib perang itu terjadi. Hahaha.” Seru Irra sambil tertawa terbahak.

Gak lama setelah itu, mereka tiba di tempat yang Yudha maksud itu. Tempat itu ternyata tempat yang waktu itu tempat Irrra menangis sedih saat ia menerima suatu kenyataan bahwa orangtuanya itu telah benar-benar tidak ada lagi di sisinya. Yudha mengeluarkan kursi roda Irra dan membantu Irra keluar dari mobilnya sambil menggendongnya.

“Kamu masih inget kan tempat ini?” Tanya Yudha sambil mendorong kursi roda itu dengan perlahan.
“Masih inget banget tempat yang dimana aku menangis saat menerima kenyataan kalo orangtuaku sudah gak ada di dunia ini kan, kamu juga waktu itu nangis di pangkuanku saat kamu liat aku nangis dengan sangat sedihnya, eh kamu tiba-tiba ikut nangis, tapi karena kamu ikut nangis itu, aku langsung ketawa kencang banget kan? Hehehehe.” Seru Irra sambil meledek Yudha.
“Hush, jangan di inget-inget lagi masalah itu. Malu aku.” Protes Yudha dengan wajah yang merah padam.

Yudha sengaja membawa Irra ke danau itu. Dia ingin memberikan sesuatu kepada Irra. Sebenarnya ia telah menyimpan sebuah rasa cinta di dalam lubuk hatinya. Ingin sekali ia mengungkapkan rasa itu. Awal dia suka dan cinta kepada Irra sejak beberapa tahun lalu, setelah insiden Irra keselek pisang pas lomba 17an itu. Yudha di undang kerumah Irra untuk merayakan tiga tahun kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu. Yudha terlihat tampan sekali dengan stel-an celana kodok lengkap dengan rompi yang membalut kaos Spidermannya itu, maklum anak usia 7 tahun masih terlihat keren menggunakan model seperti itu. Dengan di antar supirnya menggunakan mobil milik ayahnya itu, berkali-kali Yudha melirik kearah kaca spion yang ada di dalam mobilnya itu untuk merapikan dandanannya supaya terlihat tampan. Sesampainya dirumah yang ia tuju, Yudha keluar dari mobil dengan jalan yang gagah. Entah dia tidak melihat atau kenapa, tiba-tiba ia terjatuh. GUBRAK… tapi dia langsung bangkit dan menendang batu yang menyebabkan ia terjatuh itu. Di dalam rumahnya Irra dia makan dengan enaknya. Selesai makan, ia di antar keluar rumah dengan Irra. Yudha berseri-seri sekali wajahnya. Di perjalanan pulang pun dia tersenyum terus. Begitu ceritanya, Yuk balik ke cerita Irra dan Yudha yang sudah menunggu di danau untuk di simak.

“Ra, kamu tau gak?” Tanya Yudha dengan wajah yang tegang.
“Tau apaan Yud, kok kayaknya kamu serius banget tampangnya.” Jawab Irra dengan wajah yang penasaran.
Yudha mengeluarkan sebuah kotak yang berisi cincin dari dalam kantong celananya. Dan dia mengungkapkan semua perasaannya denga tampang yang masih terlihat tegang itu. Irra makin heran karena tingkah Yudha yang tiba-tiba berubah seperti itu.
“Yud, aku gak bisa jadi pacar kamu, kamu sudah aku anggap sebagai keluarga aku sendiri, yang sudah bisa membuat aku selalu gembira dan melupakan semua kenanganku yang suram itu, jadi kita gak bisa pacaran, kamu juga tau kan keadaanku bagini, apa kamu…”

“Stop, jangan kamu teruskan kata-kata yang terkahir itu…” Seru Yudha sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir Irra yang tipis itu. “… bagaimanapun keadaan kamu, aku gak paduli, aku begitu sayang sama kamu.” Tambahnya
Irra hanya terdiam saja. Dan Yudha mengerti akan keadaannya dan juga keberadaan dirinya di dalam hatinya Irra. Dan Yudha menerima semua kenyataan itu. Waktu sudah menjelang sore, mereka langsung menuju kearah mobil yang mereka parkir gak jauh dari tempat mereka berada.
Sepanjang perjalanan tak terjadi kontak apapun, yang terdengar hanyalah suara musik dari tape yang Yudha putar. Tapi terlihat wajahnya Irra tetap tersenyum dengan indahnya. Tidak berselang lama dengan berkahirnya lagu L-arc-n-ciel_new world yang menemani perjalanan mereka, akhirnya sampai juga dirumah Irra itu. Seperti biasa, Yudha membantu Irra turun dari mobilnya.

****

Keesokan harinya pada hari minggu…
Irra sedang sendirian di halaman rumahnya sambil memandangi bunga-bunga yang sedang menari-nari karena tertiup angin yang semilir bertiup. Dalam ingatannya terputar kembali semua kejadian saat ia masih kecil dulu. Di taman ini, dia bersama Ayah dan juga Ibunya sering sekali bercanda bersama di tempat yang dia pandangi sekarang ini.seperti dejavu, ia teringat kembali semua kenangan yang dahulu ia ingat, terlihat jelas suara tawa dari dirinya sewaktu kecil saat di kejar-kejar olah Ayahnya, dan Ibunya sedang duduk sambil menikmati teh yang dibuatnya itu. Irra tersenyum sendiri sebelum ada sepasang tangan yang memegan kedua bahunya. Ia melihat kebelakang, ternyata itu Yudha yang sudah hadir di rumahnya dengan membawakan sepiring makanan untuk Irra.

“Ini sarapan dulu, udah mau jam 9 masih belum juga sarapan, entar kamu gak punya stamina lho.” Seru Yudha sambil menaruh makanan itu di pangkuan Irra dan mendorong kursi roda Irra menuju ke sebuah meja bundar di dekat mereka berada itu.
“Makasih ya Yud, O..Ya, kamu lihat adik aku gak?” Tanya Irra heran karena sekarang ia jarang bertemu dengan Adik tercintanya itu.

“Oh, tadi pagi jam 7 sebelum kamu bangun, di jogging keliling kompleks.” Jawab Yudha.
“Ohh, makasih ya, kamu udah makan belum?” Tanya Irra.
“Udah kok, kamu aja yang makan.” Seru Yudha sambil menuangkan minum ke gelas beling di depan Irra.
“Makan yang banyak ya.” Seru Yudha sambil mengusap rambut panjangnya Irra.
Irra terlihat lahap sekali melahap makanan yang dibuatkan Yudha untuknya itu, walau Cuma sebatas Nasi goreng dengan 2 telur yang diberi variasi dengan saus berupa kedua bola mata dan juga sebuah senyuman yang diukir di atas kuning telurnya terlihat sangan enak sekali.

Yudha berdiri dan berjalan kearah kolam ikan di dekat pepohonan yang cukup rindang di samping rumah Irra. Yudha melemparkan beberapa butir pakan ikan yang ia ambil dari toples di pinggir kolam yang berisi pakan ikan itu. Terlihat semua ikan mengeroyok makanan yang telah mengambang di air tempat mereka tinggali. Banyak ikan yang saling dorong dan juda saling sikut-sikutan. Yudha tertawa geli melihatnya. Apalagi ikan koi yang besar terlihat tidak mau kalah dalam perebutan makanan itu, ikan koi itu membuka lebar-lebar mulutnya dan mencaplok semua makanan yang ada di kolam itu. Beberapa ikan di dalam kolam itu memilih mengalah dan meninggalkan ikan koi itu sendirian untuk makan.

“Kenapa tertawa seperti itu?” Tanya Irra yang telah berada di samping Yudha setelah selesai ia makan.
“Itu, aku melihat ikan peliharaan kamu berebut makanan yang aku lempar tadi.” Jawab Yudhi sambil menunjuk kolam ikan itu.
“Maklum, udah seminggu gak ketemu makanannya.” Seru Irra dengan enteng.
“Pantas saja, dasar kamu ini..” Seru Yudha sambil mengacak-acak rambutnya Irra.
Irra meminta Yudha untuk mengantarkannya ke mall di daerah kelapa gading.

Yudha Cuma manggut-manggut saja. Dan segera didorongnya kursi roda itu menuju tempat parkir di halaman rumahnya Irra. Yudha seperti biasa, ia membantu Irra untuk masuk kedalam monilnya itu.
Dan sesampainya disana, Irra langsung menuju ketempat pakaian-pakaian wanita. Yudha dengan setia mendampinginya. Kemanapun Irra ingin pergi, Yudha tetap berada disampingnya. Sampai ia bertemu teman lamanya yang bertanya tentang siapa wanita yang bersama Yudha itu.

“Oh, ini sahabat gue, dari kecil gue udah kenal sama dia.” Seru Yudha sambil mengenalkan Irra kepada Bayu, teman lamanya saat Play group dulu.
Teringat kembali memory masa kecil dulu antara Yudha dan juga Bayu. Saat Yudha jalan bersama Bayu. Dari kejauhan terlihat sinar yang begitu kemilau dari pinggir trotoar yang sedang mereka lewati. Dalam otak mereka masing-masing saling mengatur strategi untuk bertarung siapa paling cepat dalam mengambil benda yang membuat mereka penasaran itu. Dan dalam hitungan detik, mereka berdua berlari dengan cepat sekali. Sampai Yudha terjatuh akibat terpeleset dan membuat kakinya terluka, sementara Bayu telah mengambil benda yang ternyata uang seratus rupiah itu. Maklum jaman dahulu uang seratus sama nilainya seperti uang seribu di jaman sekarang ini.
“O,ya gue cabut dulu ya.” Seru Bayu dengan nada yang sangat cepat dan berlalu dari Yudha dan juga Irra.

“Yud, kita pulang yuk, gak ada yang menarik disini.” Seru Irra sambil melihat Yudha yang berada di belakangnya.
“Oke tuan putri, kita cabut dari sini.” Serunya sambil mendorong kursi roda itu dengan kecepatan yang lumayan cepat.
Terlihat wajah Irra sangat ketakutan sekali. Sebelum sampai di eskalator, Yudha memperlambat kecepatannya. Dan mendaratlah sbuah cubitan yang membuatnya merintih kesakitan. Dan lama kemudian, mereka sampai juga ke parkiran dan segera masuk kedalam mobilnya itu.

Di perjalanan, jalan cukup macet. Banyak motor dan juga mobil saling beradu suara knalpotnya. Namun semua suara itu tidak terdegnar dari dalam mobil Yudha yang sedang mendengarkan lagu-lagu Jamrud dengan volume penuh. Yudha dan juga Irra saling menggut-menggut sambil bernyanyi saat reff pada lagu Selamat Ulang tahun.
Dan tidak terasa sekali, mereka akhirnya sampai dirumah Irra. Dengan perlahan, Yudha membantu Irra turun. Dan di antarnya sampai depan pintu kamarnya Irra. Terlihat ada Adiknya irra dengan pakaian yang cukup sexy sedang menonton televisi yang sangat dia gemari, yaitu Sponge bob square pants. Yang saat itu ceritanya tentang si Patrick star sedang berloma menangkap Ubur-ubur bersama sahabatnya yang juga sama-sama idiot yaitu Si Kuning Sponge Bob. Namun Yudha langsung pamit pulang.

****

Saat di sekolah…
Irra terlihat sedang duduk di pinggir lapangan sambil di temani oleh Yudha. Dia melihat pertandingan sepak bola antara Office Boy (OB) melawan Siswa di sekolah mereka yang sedang mengadakan ClassMeet. Terlihat Irra memberikan dukungannya untuk teman-temannya yang sedang berjuang melawan kerasnya permainan dari OB. Walaupun telah tertinggal 5-0, para siswa tidak mau menyerah begitu saja. Namun takdir berkata lain, permainan ini tetap dimenangkan oleh tim OB dengan kedudukan tetap 5-0.

“Huuh payah masa kalah sama OB.” Protes Irra sambil memutar kursi rodanya itu.
“Ya, namanya juga udah takdirnya kalah.” Seru salah satu pemain dari Siswa tersebut.

****
Irra sedang ngobrol dengan Yudha di bawah pohon beringin yang sedang berdiri dengan sangat kokoh itu. Irra terlihat sangat sedih sekali. Yudha pun bingung, kenapa tiba-tiba Irra sedih seperti ini.
“Yud, aku teringat sama orangtuaku, kamu mau temani aku ke makam mereka gak?” Tanya Irra sambil menunjukkan wajah yang serius.
Dan juga Yudha tidak bisa menolak ajakan sahabatnya itu. Setelah seluruh perlombaan di ClassMeet ini selesai, akhirnya mereka pulang. Yudha dan juga Irra segera menuju makam kedua orangtuanya Irra. Sesampainya disana, Irra segera berdoa kepada Allah SWT untuk ketenangan kedua orang yangsangat ia cintai tersebut. Mengalirlah dua buah aliran kcil di pipinya yang bersumber dari matanya. Yudha mengusap air yang sedang mengalir itu dengan kedua tangannya.

“Sudahlah, jangan sedih lagi, nanti mereka menjadi tidak tenang disana.” Seru Yudha menenangkan hati sahabatnya itu.
Dan gak lama setelah itu. Terukirlah sebuah senyuman indah di bibirnya. Dan dia berkata.

“Ma, Pa, aku janji sama kalian. Aku akan selalu gembira, dan aku akan mewujudkan semua mimpi aku yang akan aku tunjukan sama kalian, aku akan menjadi seorang atlet terkenal dan memenangkan semua kejuaraan nasional dan juga kejuaraan dunia. Akan aku buktikan itu semua untuk kalian.” Seru Irra dengan pasti.

****

“Kamu yakin atas omongan kamu kemarin?” Tanya Yudha dengan ragu-ragu kepada Irra.
“Ya, aku yakin.” Jawabnya dengan nada yang pasti.
Memang keinginan besarnya itu bertolak belakang dari keadaannya yang saat ini. Tapi Yudha tetap mendukung sahabatnya itu.
“Yud, kata dokter yang dulu merawat aku, dia akan memberikan aku sepasang kaki palsu untuk membantuku untuk berlari.” Seru Irra sambil tersenyum dengan senang.

Dan selama berhari-hari belakangan ini, Yudha menemani Irra pergi ke dokter yang dulu merawatnya itu. Berkali-kali juga Irra di periksa kesehatannya. Sampai ia harus di rawat inap di rumah sakit itu untuk di karantina dan supaya kondisinya tetap terjaga agar pemasangan kaki pelsunya itu berjalan dengan lancar.
Sampai pada akhirnya, waktu untuk pemasangan kaki palsu itu tiba. Irra terlihat sangan senang sekali karena sebentar lagi ia dapat berjalan. Selama berjam-jam Yudha menunggu hasil dari dokter yang sedang mengoperasi Irra di ruang bedah. Dan lama kemudian, operasi itu selesai dan akhirnya operasi itu berjalan lancar dan juga sukses. Tinggal menunggu waktu agar semua syaraf di dalam kakinya menyatu sesuai dengan perintah otaknya agar ia bisa merasakan kembali bagaimanya rasanya berjalan dan juga berlari seperti saat ia masih kecil dulu.

“Kamu udah punya kaki lagi Ra, gimana rasanya?” Tanya Yudha sambil menggengam tangan Irra dari samping tempat tidur yang sedang di tiduri Irra.
“Ya seneng banget, tapi aku harus menunggu selama 1 bulan agar bisa menggerakan semua syarafnya.
“Ya, memang prosesnya begitu.” Seru Yudha.

****

Sebulan kemudian…

“Coba kamu gerakan jari jempol di kaki kamu.” Perintah sang dokter kepada Irra.
“Ihh, kamu bisa Ra.” Seru Yudha sambil tersenyum.
“Coba sekarang kamu tekuk kaki kamu.” Perintah dokternya lagi.
“Masih agak kaku Dok.” Seru Irra.
“Ya sudah tinggal kamu latih terus kaki kamu ya.”

Irra terlihat sangat gembira. Dan selama berhari-hari, Yudha menemani Irra latihan berjalan yang di bombing oleh dokter yang merawatnya itu. Dan gak sampai sebulan, Irra sudah bisa berjalan seperti saat ia masih kecil dulu. Walaupun masih agak belum seimbang tapi ia terlihat senang sekali. Dia mencoba untuk berlari di taman rumah sakit itu, namun berkali-kali ia terjatuh. Tapi semangatnya tetap berkobar di dalam tubuhnya.

****

Saat kembali ke sekolah…

Banyak teman-temannya yang terkejut melihat Irra bisa berjalan kembali. Dia langsung menemui guru olahraga yang bernama Bapak Putut, maklum berasal dari Bali. Irra meminta Pak Putut untuk melatih ia berlari, Agar ia bisa mengikuti olimpiade pada bulan depan. Dan Pak Putut memberikan syarat agar dia bisa ikut berlatih bersama anak-anak yang berbakat di sekolahnya. Syarat yang disebutkan oleh guru olahraga itu menurutnya tidak ada yang sulit. Syaratnya adalah dilarang datang terlambat saat berlatih, dilarang merokok, dilarang jalan saat berlari apalagi melompat-lompat, saat berlari harus fokus sama trek yang akan di lalui, dan poin yang terpenting yaitu, selalu membaca doa sebelum dan sesudah berlari, di tambah lagi, bila lelah harus segera istirahat.

“Oke Pak, saya sanggup dengan semua itu.”
Keesokan harinya…

Semua telah siap-siap berlatih, mula-mula mereka pemanasan dengan mengelilingi lapangan sebanyak lima putaran. Dan di lanjutkan dengan melemaskan semua otot-otot supaya tidak terjadi yang tidak diinginkan nantinya. Sperti keram, keseleo, kesemutan dan juga kaku otot.

Setelah itu, tahap selanjutnya yaitu penilaian kecepatan waktu. Teman-teman satu timnya memulai satu persatu untuk penilaian waktu di 100 m pertama. Irra mendapat giliran pertama. Dan Irra mengambil ancang-ancang, setelah terdengar dentuman suara tembakan, ia langsung berlari secepat mungkin. Ia mencetak 8,9 detik di 100 m. teman-teman yang lainnya mencatatkan waktu rata-rata 9-10 detik. Irra tersenyum, akhirnya ia bisa berlari secepat itu.

“Kamu berhasil mengalahkan mereka.” Seru Yudha sambil menyerahkan handuk kecil untuk mengusap keringat yang mengucur deras dari pori-pori kulitnya.
“Iya, aku gak nyangka lho.” Serunya sambil duduk dan mengelap keringatny itu.
Dan sampai pada pengumuman hasil latihan ini. Akhirnya Irra masuk ke dalam kelas 100 m di dalam olimpiade nanti bersama temannya yang bernama Intan dan juga Dewi. Dan mereka semua berlatih dengan keras supaya waktu yang mereka raih bisa mencapai maksimal.

****

Saat Olimpiade…
Yudha terlihat sedang bersama Irra untuk memberikan dukungan kepadanya. Yudha duduk di bangku penonton dan memberikan semangatnya untuk Irra. Semua atlet telah berada di lapangan. Irra sedang melakukan pemanasan agar semua ototnya tidak kaku.

“AYO IRRA KAMU PASTI BISA…!!??” teriak Yudha dari bangku penonton.
Irra membalikkan badannya dan mengacungkan jempolnya kearah Yudha sambil mengedipkan satu matanya. Dan kemudian Irra melanjutkan pemanasannya itu. Lama kemudian, juri perlombaan itu memasuki lapangan pertandingan.
“Huuh.” Irra menghembuskan napasnya dengan panjang.
“Ya, saatnya perlombaan ini dimulai, masing-masing peserta diharapkan mempersiapkan dirinya di pinggir lapangan.” Seru salah seorang panitia olimpiade dari speaker yang bersumber di ruang informasi.

Yudha dari bangku penontonnya terus bersemangat memberikan semua dukungannya kepada sahabatnya itu. Api semangat di dalam hatinya Irra semakin membara. Berkali-kali ia terlihat menghembuskan napas panjangnya itu. Wajahnya terlihat gugup sekali. Tidak seperti Irra yang biasanya yang selalu sabar dalam menghadapi segala sesuatu yang di hadapinya.

Perlombaan pertama yaitu lomba 100 m putri putaran pertama. Irra telah bersiap-siap di posisi startnya. Terlihat pandangannya begitu tajam dalam memandangi perlintasan yang akan ia lalui itu. Dan suara letusan tembakan berbunyi. Irra memacu tenaganya untuk terus berlari. Dan ia akhirnya menang sebelum terjatuh di akhir lintasan. Yudha terkejut melihatnya dan langsung berlari ke dalam lapangan. Ternyata Irra Cuma hilang keseimbangan.

Irra pun dapat melalui putaran demi putaran dalam olimpiade tersebut. Tibalah pada pelombaan babak Final. Stamina para peserta sudah terkuras habis. Irra juga terlihat sangat lelah sekali. Namun, ia teringat kembali akan jajninya kepada kedua orangtuanya itu. Dan perlombaan pun di mulai. Irra berusaha mendahului peserta lainnya. Pada 20 m pertama ia memimpin perlombaan itu. Namun seperti di perlambat kayak di tipi-tipi, 10 m terakhir bagaikan 10 km dalam perlombaan marathon. Pandangan Irra tiba-tiba buram. Berkali-kali ia terlihat menggelengkan kepalanya. Dan ia pun terjatuh dan diiringi suara tepuk tangan yang meriah dari penonton yang menyaksikan kejadian itu.

“Irra, Bangun Ra, bangun..” Seru Yudha sambil menepuk-nepuk pipi Irra yang masih belum sadarkan diri di pinggir lapangan.
“Yud, ke..kenapa ramai sekali?” Tanya Irra dengan pandangan yang masih belum pulih.
“Kamu berhasil Ra, kamu berhasil..!!?” Seru Yudha sambil memeluk Irra dengan erat.
“Berhasil apanya maksud kamu?” tanya Irra bingung.
“Lihat tangan kamu.. kamu menggengam pita kemenangannya, sebelum kamu terjatuh tadi kamu meraih pita ini tepat di garis finish Ra, Selamat ya..” seru Yudha sambil menangis gembira.

“Apa? Aku menang?” Irra tersenyum.
Yudha hanya bisa menganggukan kepalanya saja. Dan Yudha menyuruh Irra untuk berdiri.
“Yud, kaki aku gak bisa aku gerakin.” Seru Irra yang masih duduk di pinggir lapangan itu.
“Apa maksud kamu?” Tanya Yudha dengan tampang yang heran.
“Bener Yud, aku gak bisa gerakin kaki aku.” Serunya lagi.

Yudha langsung menggendong Irra. Dan sebelum ke dokter tempat Irra di rawat dulu, Yudha menemani Irra mengabil medali dan juga hadiah dari panitia perlombaan itu. Dengan di gendong oleh Yudha di podium kemenangan, Irra di kalungkan medali oleh ketua pelaksana dari olimpiade tersebut. Dan setelah itu, segera mereka menuju ke dalam mobil Yudha dan menuju ke rumah sakit tersebut. Irra masuk kedalam ruangan bedah untuk di periksa kembali keadaan kakinya.

“Bagaimana Dok, keadaan Irra sahabatku?” Tanya Yudha setelah melihat dokter yang memeriksa Irra keluar dari ruangan bedeha itu.
“Sebaiknya ikut keruangan saya.” Seru sang dokter sambil menunjukan wajah yang gak bisa di tebak apa yang akan dia katakan.

Sesampainya disana…

“Ini sungguh aneh, ia mengalami lumpuh total, padahal beberapa waktu lalu kami telah yakin bahwa kaki barunya itu sangat bagus dan akan membantunya secara permanent, atau munkin ia terlalu memaksakan kakinya itu untuk terus berlari, sehingga ada beberapa syaraf yang terputus kembali.” Jelas sang dokter.
Yudha tampak sedih sekali, baru saja ia melihat kebahagiaan yang ada di diri Irra. Dan sekarang di dalam kenyataannya, Irra kembali harus duduk di kursi roda lamanya untuk selamanya. Yudha masuk ke kamar tempat Irra terbaring. Dia menundukan kepalanya, sebelum berbicara kepada Irra ia menarik napasnya dengan panjang.
“Udah Yud, aku udah tau semuanya kok, jadi jangan kamu tutup-tutupi lagi.” Seru Irra sambil memeluk medali yang di raihnya dengan penuh perjuangan.

“Iya, aku baru di kasih tau sama dokter.” Seru Yudha dengan nada yang lemas.
Yudha memegang erat tangannya Irra sambil duduk di sebelah tempat tidur Irra. Yudha terlihat meneteskan airmatanya. Irra berusaha untuk mengelap airmata yang mengalir di pipi Yudha itu.

“Yud, aku mau jawab pertanyaan kamu yang dulu.” Seru Irra sambil mengelap airmata Yudha.
“Yang mana?” Tanya Yudha heran.
“Aku mau jadi pacar kamu Yud.” Seru Irra dengan suara yang pelan.
“Apa? Aku gak dengar.” Seru Yudha sambil mendekatkan telinganya di mulut Irra.
“Iya, AKU MAU JADI PACAR KAMU.” Seru Irra di telinga Yudha yang membuat telinganya menjadi tersumbat.
Yudha terlihat sangat gembira sekali, ia melompat kegirangan dan membuat suara gaduh di dalam ruangan itu. Dan memeluk Irra sambil mencium keningnya.
“Yud, Please dong ah, jangan lebay dong.” Seru Irra di sela-sela pelukan Yudha.
“Maaf-maaf, aku berlebihan, aku senang banget Ra.” Seru Yudha sambil tersenyum simpul.

****

Mereka menjalankan hubungan mereka hingga mereka lulus dari sekolahnya. Dan setelah mengambil Ijazah di sekolahnya, mereka langsung menuju ke makam tempat orangtua Irra tidur secara berdampingan untuk selamanya.

“Ma,Pa, hari ini aku senang sekali, aku bisa lulus dengan nilai yang terbaik dari seluruh siswa, dan juga aku bisa juara olimpiade se-DKI, O..ya Ma,Pa, kalian setuju kan kalau aku sama Yudha berpacaran? Kalian pasti setuju kan? Aku sayang kalian, Ma, Pa, aku disini merindukan kalian, ini aku buat puisi untuk kalian, dengar ya…” Seru Irra sambil menaburkan bunga di makam kedua orangtuanya itu.

Yudha mengajak Irra pulang selesai membacakan sebuah puisi yang diciptakannya untuk kedua orangtuanya itu. Mereka berdua pulang dengan wajah yang sangat ceria. Dan mereka juga akan menjadi pasangan yang sangat bahagia nantinya, karena hubungan yang mereka jalin berdasarkan ikatan Cinta yang sejati dan juga tidak menggunakan perasaan yang sering timbul yang menyebabkan hubungan itu hancur.

Puisi yang di bacakan Irra begini isinya.

Kerinduan Sang Bidadari
A puisi By: Dhewi wulansari

Waktu terus bergulir..
Saat indah bersama kalian..
Saat kita tertawa bersama..
Melewati suka maupun duka..

Namun, kini semuanya telah menjadi puing…
Puing-puing kenangan…
Puing yang telah mendarah daging dalam tubuh ini…
Yang tak mungkin ku lupa saat kita bersama…

Ingin rasanya ku berlari…
Meninggalkan semua kenangan tersebut…
Namun, kuingin sekali mengulang semua itu…
Ku tahu, ini takkan terulang kembali.

Ma,Pa, disini bidadari kecilmu yang dahulu kau sayang…
Telah beranjak dewasa…
Dan kini, aku sangat merindukan keberadaan kalian…
Ingin rasanya aku berteriak…

Aku ingin merasakan lembutnya belaian dari kalian…
Ingin merasakan pelukkan penuh kasih…
Kecupan manis dari bibir kalian…
Namun itu semua ku tahu takkan mungkin terjadi lagi…

Selamat jalan Mama, Papa, cintamu masih tertanam di hatiku…
Tertanam untuk selamanya…

By : Irra Saraswati…




0 komentar:

 
;